Awal Mula Pulau Bangka
Pulau Bangka adalah pulau besar yang
dikelilingi oleh banyak pulau-pulau kecil, menyimpan banyak cerita
sejarah dan peradaban yang besar sejak zaman dahulu. Letaknya yang
strategis dengan kekayaan alam yang melimpah sejak pertama kali mampu
direkam oleh catatan sejarah membuktikan bahwa Pulau Bangka adalah pulau
yang bernilai historisitas tinggi. Sebagai bagian dari sejarah besar, runtutan peristiwa yang pernah
terjadi yang berkaitan dengan daerah ini juga menjadi perdebatan. Tidak
saja perdebatan berkaitan dengan sejarah mula secara geografis, tetapi
juga interaksi masyarakat didalamnya yang masih terus diperdebatkan oleh
para peneliti dan tetua masyarakat didalamnya. Perdebatan tentang
asal-usul kata Bangka sendiri adalah perdebatan yang belum final hingga
sekarang.
Banyak versi yang mencoba memberikan interpretasi atas kata bangka,
namun bukti fisik tentang asal-usul kata ini sendiri belum ditemukan
kecuali usaha banyak ahli untuk menghubungkan analisis mereka dengan
berbagai peristiwa. Versi sejarah yang tampaknya paling kuat adalah
versi sejarah Kota Kapur. Ditemukannya bukti sejarah otentik berupa
prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 masehi memulai perdebatan
tersebut secara ilimiah. Prasasti yang ditemuka di Sungai Menduk
(Kabupaten Bangka Barat Sekarang) tersebut berisikan 240 kata bahasa
Sanskerta. Prasasti tersebut berisi tentang peringatan kepada masyarakat
di wilayah Kerajaan Sriwijaya tentang larangan untuk melakukan
pemberontakan. Peringatan tersebut jelas dibuat oleh penguasa kerajaan
Sriwijaya pada masa itu sehingga dipekirakan bahwa Pulau Bangka pada
masa Kerajaan Sriwijaya telah menjadi pusat aktivitas yang ramai. Dalam
prasasti Kota Kapur, sama sekali tidak disebutkan kata Bangka. Namun
para ahli sejarah banyak menghubungkan Bahasa Sanskerta yang digunakan
pada prasasti Kota Kapur dengan kata vanca yang kemudian mengalami
perubahan kata menjadi Bangka tampaknya bisa diterima dengan nalar.
Versi lain menyebutkan bahwa kata Bangka berasal dari kata Bangkai
yang menunjukan bahwa kata bangka adala tempat pmbuangan bangkai pada
masa penjajahan. Meski demikian, asal-usul kata ini tidak memiliki bukti
ilmiah sehingga anlisis versi Kota Kapur di atas lebih bisa diterima
oleh masyarakat kebanyakan. Sebuah majalah pada tahun 1846 yang bernama
Tijdschrift voor Nederlandsch Indie memuat tulisan bahwa daerah yang
disebut Banca adala pulau yang dulunya bernama Chinapata atau
China-Batto (Chinapata diduga adala daerah yang dulu pernah dilaporkan
oleh seorang pelaut bernama Jans Huyghens van Linschoteen pada tahun
1595 di Amsterdam). Dulu daerah yang disebut Banca mencakup Palembang
dan meluas ke arah barat yang kemudian disebut Bangka-Hulu dan kemudian
mengalami perubaha dialek menjadi Bengkulu sekarang ini. Ke arah
Sumatera Timur, terdapat daerah yang bernama Bangka yang keyakinan
banyak orangbtentang kemungkinan ini tidak nampak terlau besar sehingga
belakangan banyak orang yang bahkan tidak pernah mendengar cerita ini.
Pulau Bangka dan Sejarah
Belanda pertama kali mendarat di
Nusantara tepatnya di Banten Pulau Jawa pada tahun 1596 dibawah pimpinan
Cornelis de Houtman. Cukup lama setelah itu belanda baru melirik Pulau
Bangka sebaga salah satu daerah potensial penghasil timah. Ketika
Belanda ingin masuk ke Pulau Bangka daerah ini masuk pada kekuasaan
Kesultanan Palembang. Hubungan pertama antara VOC dan daerah Bangka
Belitung terjadi pertama kalinya pada tahun 1668. Pulau Bangka pada masa
itu berada dibawah kekuasaan Sultan Abdurrachman.
Sebuah catatan kontrak antara Belanda dan Sultan Palembang pada
tanggal 10 juli 1668 sebagaimana disebutkan dalam buku Kepulauan Bangka
Belitung dengan editor Achmad Sahabudin, dan kawan-kawan (2003)
menyebutkan bahwa Kesultanan Palembang mengakui Belanda dengan usaha
monopoli timahnya dan Belanda akan mlindungi Kesultanan Palembang.
Berikutnya pada tahun 1722, Kesultanan Palembang yang berada dibawah
pemerintahan Sultan Mahmud Kamarudin mengadakan perjanjian yang berisi
ketentuan bahwa VOC memegang hak monopoli perdagangan atas timah.
Tahun-tahun setelahnya menunjukan hubungan dagang Belanda dan Kesultanan
Palembang berlangsung sangat buruk, sebagai mana Ratu Mahmud Kamarudin
gagal memerintah internalnya.
Awal Penambangan Timah
Penemuan timah petama kali di pulau Bangka memiliki beberapa versi. Setidaknya catatanya yang ditulis oleh Heidhues menyebutkan tiga versi penemuan, yakni pada tahun 1707, 1709, dan tahun 1711. timah pada masa awal penemuan tersebut merupakan komoditas yang sangat mudah dilihat karena timah terdapat dimana-mana. Horsfield dalam Heidhues mengatakan bahwa timah dengan mudah terlihat ketika penduduk setempat melakukan pembakaran ladang-ladang ubtuk ditanami oleh penduduk setempat. Logam timah tampak meleleh ketika penduduk melakukan pembakaran.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebenarnya timah pada masa awal abad ke-17 merupakan sebuah komoditas yang midah didapatkan. Hal ini menandakan betapa banyak kandungan timah yang ada di Pulau ini. Apalagi masa penambangan timah yang berlangsung selama 4 abad lebih dan hingga kini masa banyak penambangan timah yang dilakukan di berbagai tempat oleh penduduk dan beberapa perusahaan besar. Orang yang dianggap memperkenalkan penambangan timah di Pulau Bangka adalah orang-orang johor yang memiliki garis keturunan Cina yang beragama Islam dan juga merupakan kerabat Kesultanan Palembang. Abdulhayat dalam keluarga tersebut dan laki-lakinya yang bernama Wan Akub merupaka nama-nama yang banyak disebut dan dianggap merupaka orang-orang yang mempelopori penemuan timah di Mentok dan Pulau Bangka pada umumnya. Heidhues menyebutkan bahwa pada masuknya Orang-Orang johor tersebut, juga datang seorang Cina bernama Oen Asing (Boen Asiong) yang melakukan penambangan timah di kampung Belo Mentok. Orang ini pula yang melakukan berbagai macam gerakan pembaruan dalam penambangan timah. Didatangkan pada masa itu pekerja dari Cina, memperkenalkan penambangan timah dengan menggunakan mesin, teknik perapian untuk membakar timah yang lebih efisien, dan melakukan standarisasi bentuk dan berat timah.
Pada masa ini pula penambangan timah di Bangka mengenal istilah kuli dan kongsi. Kuli dalam ejaan lama koeli berasal dari bahasa Tamil yang artinya orang yang disewa. Sedangkan kongsi berasal dari bahasa Hakka, yaitu kwung-sze yang artinya penanganan atas dasar usaha usaha dan kepentingan bersama dengan tujuan mendapatkan keuntungan ekonomi bersama. Mulai dipekenalkan pula istilah tauke atau towkay yang artinya bos dan sinkeh yang artinya kuli Cina yang terikat pada tahun pertama dan bebas pada tahun kedua dan seterusnya.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sejarah penambangan timah pada abad ke-17 dan setelahnya adalah sejarah penambangan timah yang dilakukan oleh orang-orang Cina. Impor pekerja Cina dalam jumlah besar-besaran menyebabkan penduduk Bangka hingga sekarang juga banyak diwarnai kehidupan orang-orang Cina yang mula-mula datang untuk bekerja sebagai penambang pada akhirnya ikut memberikan andil dalam proses perkembangan kultural masyarakat lokal.
Tidak mengherankan jika saat ini penduduk Cina di Pulau Bangka mencapai 30 persen dari total jumlah penduduk provinsi ini. Sebagai salah satu bukti bahwa masyarakat etnis Cina sudah ada sejak dulu, masyarakat etnis Cina dapat dijumpai di berbagai pelosok di daerah Pulau ini. Sebutlah misalnya Mentok, Pangkalpinang, Toboali, Sungailiat, Belinyu, Koba, Sungiselan Jebus dan kampung-kampung kawasan penambang timah berpenduduk ramai.
Awal Penambangan Timah
Penemuan timah petama kali di pulau Bangka memiliki beberapa versi. Setidaknya catatanya yang ditulis oleh Heidhues menyebutkan tiga versi penemuan, yakni pada tahun 1707, 1709, dan tahun 1711. timah pada masa awal penemuan tersebut merupakan komoditas yang sangat mudah dilihat karena timah terdapat dimana-mana. Horsfield dalam Heidhues mengatakan bahwa timah dengan mudah terlihat ketika penduduk setempat melakukan pembakaran ladang-ladang ubtuk ditanami oleh penduduk setempat. Logam timah tampak meleleh ketika penduduk melakukan pembakaran.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebenarnya timah pada masa awal abad ke-17 merupakan sebuah komoditas yang midah didapatkan. Hal ini menandakan betapa banyak kandungan timah yang ada di Pulau ini. Apalagi masa penambangan timah yang berlangsung selama 4 abad lebih dan hingga kini masa banyak penambangan timah yang dilakukan di berbagai tempat oleh penduduk dan beberapa perusahaan besar. Orang yang dianggap memperkenalkan penambangan timah di Pulau Bangka adalah orang-orang johor yang memiliki garis keturunan Cina yang beragama Islam dan juga merupakan kerabat Kesultanan Palembang. Abdulhayat dalam keluarga tersebut dan laki-lakinya yang bernama Wan Akub merupaka nama-nama yang banyak disebut dan dianggap merupaka orang-orang yang mempelopori penemuan timah di Mentok dan Pulau Bangka pada umumnya. Heidhues menyebutkan bahwa pada masuknya Orang-Orang johor tersebut, juga datang seorang Cina bernama Oen Asing (Boen Asiong) yang melakukan penambangan timah di kampung Belo Mentok. Orang ini pula yang melakukan berbagai macam gerakan pembaruan dalam penambangan timah. Didatangkan pada masa itu pekerja dari Cina, memperkenalkan penambangan timah dengan menggunakan mesin, teknik perapian untuk membakar timah yang lebih efisien, dan melakukan standarisasi bentuk dan berat timah.
Pada masa ini pula penambangan timah di Bangka mengenal istilah kuli dan kongsi. Kuli dalam ejaan lama koeli berasal dari bahasa Tamil yang artinya orang yang disewa. Sedangkan kongsi berasal dari bahasa Hakka, yaitu kwung-sze yang artinya penanganan atas dasar usaha usaha dan kepentingan bersama dengan tujuan mendapatkan keuntungan ekonomi bersama. Mulai dipekenalkan pula istilah tauke atau towkay yang artinya bos dan sinkeh yang artinya kuli Cina yang terikat pada tahun pertama dan bebas pada tahun kedua dan seterusnya.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sejarah penambangan timah pada abad ke-17 dan setelahnya adalah sejarah penambangan timah yang dilakukan oleh orang-orang Cina. Impor pekerja Cina dalam jumlah besar-besaran menyebabkan penduduk Bangka hingga sekarang juga banyak diwarnai kehidupan orang-orang Cina yang mula-mula datang untuk bekerja sebagai penambang pada akhirnya ikut memberikan andil dalam proses perkembangan kultural masyarakat lokal.
Tidak mengherankan jika saat ini penduduk Cina di Pulau Bangka mencapai 30 persen dari total jumlah penduduk provinsi ini. Sebagai salah satu bukti bahwa masyarakat etnis Cina sudah ada sejak dulu, masyarakat etnis Cina dapat dijumpai di berbagai pelosok di daerah Pulau ini. Sebutlah misalnya Mentok, Pangkalpinang, Toboali, Sungailiat, Belinyu, Koba, Sungiselan Jebus dan kampung-kampung kawasan penambang timah berpenduduk ramai.
Penduduk Asli Pulau Bangka
Definisi tenteng penduduk asli Pulau
Bangka hingga kini masih menjadi perdebatan. Ada yang mengatakan bahwa
penduduk asli Pulau ini adalah Suku Melayu, padahal pembahasan
sebelumnya nyebutkan bahwa Suku Melayu adalah eksodus secara
perlahan-lahan penduduk yang datang dari kerajaan johor dan Kerajaan
Lingga-Riau.
Sejarah dipulau ini juga diwarnai dengan kedatangan orang-orang bugis
yang menjadi lanun dan menguasai dan menguasai pulau-pulau kecil dan
daerah pesisir Bangka. Cina juga adalah bagian yang tidak terpisahkan
dengan perjalanan perkembangan demografis pulau ini. Sebuah buku yang
ditebitkan pada tahun 1954 (anonim) berjudul Republik Indonesia Propinsi
Sumatera Selatan menuliskan bahwa penduduk asli Pulau Bangka adalah
mereka yang merupakan hasil pertalian perkawinan antara pelaut-pelaut
yang datang dari Jawa, Palembang, Minangkabau, dan Bugis yang menjelma
menjadi penduduk asli yang baru. Jadi tampaknya Pulau Bangka dan
Belitung pada mulanya tidak berpenghuni, melainkan didatangi oleh
penduduk dari daerah lain dan kemudian membentuk kultur khas daerah ini.
Pada sekitar pertengahan abad ke-17, pasukan dari Kerajaan Johor dan Kerajaan Minang datang untuk membantu penguasa setempat menumpas para lanun-lanun yang mengganggu aktivitas masyarakat. Kedua Kerajaan ini mendarat di Toboali dimana kemudian Kerajaan Minang menetap dan mempengaruhi budaya dan bahasa peduduk setempat, sedangkan Pasukan dari Kerajaan johor menuju Mentok dan kemudian menetap serta memberikan pengaruh yang besar pada kehidupan budaya dan bahasa penduduk Mentok dan sekitarnya.
Pengaruh Kerajaan Minang di Toboali sangat terasa hingga sekarang, misalnya dari sudut bahasa yang cenderung mengganti huruf S dengan H. Hal ini dapat di indetifisikasi pada penggunaan bahasa yang digunakan di Minang. Pengaruh lain misalnya pada tradisi makanan seperti lemang di Toboali yang merupakan makanan khas Minang. Sedangkan pengaruh Melayu Johor yang sangat kuat ditampakkan pada ciri khas ke-Melayu-an yang sangat kental di Mentok, misalnya pada bahasa yang cenderung menggunakan e pepet, tradisi masyarakat Mentok juga mengidentifikasikan diri dengan tradisi Melayu Malaysia. Sementara itu, Heidhues menyebutkan bahwa seorang pejabat Belanda bernama J. Van Den Bogaart datang ke Pulau Bangka pada tahun 1803 membagi penduduk Bangka pada waktu itu dalam 4 kasta, yaitu :
1. Cina,
2. Melayu,
3. Orang Bukit (disebut juga Orang Gunung/Orang Darat),
4. Orang Laut (Orang Sekak)
Terimakasih kepada Bang Didi yang telah rela mencari sejarah pulau bangka ini dari berbagai sumber dan mengulasnya di blog-nya dukonbesar.com, sehingga membuat kita lebih mengetahui tentang sejarah pulau bangka. Terutama kami sebagai putra-putri pribumi bangka yang belum mengetahui sejarah tanah kelahirannya. Semua sejarah yang kami hadirkan disini semuanya bersumber dari tulisan Bang Didi di blog dukonbesar.com. Sekali lagi kami sangat berterimakasih kepada Bang Didi yang berperan besar dalam mengenalkan Bangka Belitung ke seluruh penjuru dunia.
Sumber : Sejarah Singkat Pulau Bangka - dukonbesar.com
Pada sekitar pertengahan abad ke-17, pasukan dari Kerajaan Johor dan Kerajaan Minang datang untuk membantu penguasa setempat menumpas para lanun-lanun yang mengganggu aktivitas masyarakat. Kedua Kerajaan ini mendarat di Toboali dimana kemudian Kerajaan Minang menetap dan mempengaruhi budaya dan bahasa peduduk setempat, sedangkan Pasukan dari Kerajaan johor menuju Mentok dan kemudian menetap serta memberikan pengaruh yang besar pada kehidupan budaya dan bahasa penduduk Mentok dan sekitarnya.
Pengaruh Kerajaan Minang di Toboali sangat terasa hingga sekarang, misalnya dari sudut bahasa yang cenderung mengganti huruf S dengan H. Hal ini dapat di indetifisikasi pada penggunaan bahasa yang digunakan di Minang. Pengaruh lain misalnya pada tradisi makanan seperti lemang di Toboali yang merupakan makanan khas Minang. Sedangkan pengaruh Melayu Johor yang sangat kuat ditampakkan pada ciri khas ke-Melayu-an yang sangat kental di Mentok, misalnya pada bahasa yang cenderung menggunakan e pepet, tradisi masyarakat Mentok juga mengidentifikasikan diri dengan tradisi Melayu Malaysia. Sementara itu, Heidhues menyebutkan bahwa seorang pejabat Belanda bernama J. Van Den Bogaart datang ke Pulau Bangka pada tahun 1803 membagi penduduk Bangka pada waktu itu dalam 4 kasta, yaitu :
1. Cina,
2. Melayu,
3. Orang Bukit (disebut juga Orang Gunung/Orang Darat),
4. Orang Laut (Orang Sekak)
Terimakasih kepada Bang Didi yang telah rela mencari sejarah pulau bangka ini dari berbagai sumber dan mengulasnya di blog-nya dukonbesar.com, sehingga membuat kita lebih mengetahui tentang sejarah pulau bangka. Terutama kami sebagai putra-putri pribumi bangka yang belum mengetahui sejarah tanah kelahirannya. Semua sejarah yang kami hadirkan disini semuanya bersumber dari tulisan Bang Didi di blog dukonbesar.com. Sekali lagi kami sangat berterimakasih kepada Bang Didi yang berperan besar dalam mengenalkan Bangka Belitung ke seluruh penjuru dunia.
Sumber : Sejarah Singkat Pulau Bangka - dukonbesar.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih untuk komentar Anda. Komentar, Saran, dan Kritik akan sangat membantu kami menjadi lebih baik. Semua Kritik dan Saran akan diterima dengan senang hati. Semoga artikel ini bermanfaat untuk kita semua.